Dongkrek
merupakan perpaduan antara seni musik dan gerak tari asli dari daerah kabupaten
Madiun. Sayangnya, karena kurang publikasi dan pembinaan, kesenian
ini terkesan tenggelam dan kalah pamor
dari kesenian Reog Ponorogo.
Asal Muasal Seni Dongkrek
Seni
Dongkrek lahir pada sekitar tahun 1867 di Kecamatan Caruban yang saat ini
namanya berganti menjadi Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun. Dongkrek
dipopulerkan pada tahun 1910 oleh Raden Bei Lo Prawirodipura yang saat itu
menjadi demang (jabatan setingkat kepala desa) yang membawahi lima desa
di daerah Caruban.
- Pagebluk
atau Epidemi Wabah Penyakit
Konon
pada sektitar tahun 1879 rakyat Desa Mejayan terkena wabah penyakit mematikan.
Menderita sakit saat siang dan sorenya meninggal. Atau, sakit pada pagi hari,
malam harinya seketika meninggal dunia. Dalam kesedihannya Raden Prawirodipuro
melakukan meditasi dan bertapa di wilayah
gunung kidul
Caruban. Ia kemudian mendapatkan wangsit untuk membuat semacam tarian atau
kesenian yang mampu mengusir balak.
Wangsit
yang didapat
menggambarkan para punggawa kerajaan roh halus atau pasukan genderuwo menyerang
penduduk Mejayan akan dapat diusir dengan menggiring mereka keluar dari desa.
Maka, dibuatlkan semacam kesenian yang melukiskan fragmentasi pengusiran roh
halus yang membawa pagebluk tersebut.
- Komposisi
Pemain Dongkrek
Komposisi
pemain fragmen satu babak pengusiran roh halus terdiri dari barisan buta
(dari bahasa Jawa
yang berarti buto atau raksasa),
orang tua sakti, dan dua perempuan paruh
baya. Perempuan ini menyimbolkan kondisi
rakyat yang lemah karena dikepung oleh para pasukan buta Kala. Sebelum pasukan
buta berhasil mematikan para perempuan, muncul sesosok lelaki tua sakti yang
dengan tongkatnya berhasil mengusir para barisan roh halus untuk pergi menjauh.
Selanjutya
terjadi peperangan cukup sengit antara rombongan buta dengan orang tua sakti,
yang dimenangkan oleh si lelaki sakti. Rombongan butayang kalah akhirnya
menurut dan patuh. Si orang tua sakti yang didampingi dua perempuan menggiring
pasukan buta Kala keluar dari Desa Mejayan. Sirnalah pagebluk yang menyerang
rakyat Desa Mejayan selama ini.
Tradisi
ini kemudian menjadi ciri kebudayaan masyarakat Caruban dengan sebutan
Dongkrek, yaitu satu kesenian yang menyiratkan pesan bahwa setiap maksud jahat
akhirnya akan lebur juga dengan kebaikan dan kebenaran, hal ini sesuai dengan
moto sura dira jaya ningrat, ngasta tekad darmastuti.
Asal Bunyi Alat Musik Dongkrek
Masyarakat
pada waktu itu mendengar musik dari kesenian dongkrek ini berupa bunyian ’dung’
yang berasal dari beduk atau kendang dan ’krek’ dari alat musik yang disebut
korek. Dari bunyi ’dung’ pada kendang dan ’krek’ pada korek inilah kemudian
muncul nama kesenian Dongkrek.
Alat
korek berupa kayu berbentuk bujur sangkar dengan satu ujungnya terdapat tangkai
kayu bergerigi yang saat digesek berbunyi ’krek’. Dalam perkembangannya
digunakan pula alat musik lain berupa gong, kenung, kentongan, kendang, dan
gong berry sebagai perpaduan budaya Islam, budaya Cina, dan kebudayaan
masyarakat Jawa pada umumnya.
Topeng Penari Dongkrek
Dalam
tiap pementasan Dongkrek, para penari akan menggunakan tiga jenis topeng, yaitu
topeng raksasa atau buta dengan muka seram, topeng perempuan yang sedang
mengunyah kapur sirih, serta topeng orang tua lambang kebajikan.
Masa Kejayaan
Kesenian Dongkrek mengalami masa kejayaan sekitar
tahun 1867 – 1902. Setelah itu perkembangannya banyak mengalami pasang surut
kejayaan seiring pergantian kondisi politik
di Indonesia.
Dongkrek sempat dilarang oleh pemerintah Belanda untuk dipertontonkan dan
dijadikan pertunjukan kesenian rakyat. Saat masa kejayaan Parta
Komunis Indonesia (PKI)
di Madiun, kesenian ini dikesankan sebagai kesenian genjer-genjer yang
sengaja dikembangkan untuk memperdaya masyarakat umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar